Friends are everything
Ketika kita jauh dari rumah, dari keluarga and their undying love and care, ketika kita sendiri di tempat yang asing, punya teman-teman yang luar biasa baik mampu membuat semua lebih mudah dijalani. Mereka membuat setumpuk tugas dan deadline, segambreng kegiatan dan event, serta dosen-dosen menyebalkan dan kelas yang bikin ngantuk, worth it. Kadang niat aja nggak cukup. Kadang, tujuan dan cita-cita yang digantung sedemikian tinggi terasa sulit dijangkau. Mereka adalah yang akan membantumu berdiri. Menopangmu sedikit demi sedikit sampai kau cukup kuat untuk meraihnya sendiri. Tapi ketika lompatanmu gagal, mereka tetap ada. They're going to catch you, no matter how fucked up you are. They will be there, asking nothing in return. And I've found them, the good friends. Meski kadang mereka sangat-sangat 'sakit' dan punya kecintaan berlebihan terhadap film-film India (blerghhh..) yang nggak kenal waktu dan tempat, they'are still amazing. And I thank anyone Up there for giving me them.
Never, ever, judge someone by their look, their attitude in public, or their social media account
Seorang teman sangat talkative di socmed, selalu muncul, selalu online, dan semua tau dia. But in real life, dia amat sangat menyebalkan dan invisible. Seorang lagi, perawakannya mirip anak SD, kurus, mungil, dengan gaya berpakaian yang sama sekali nggak kelihata mahasiswa-mahasiswanya. Ketika diajak bicara, ternyata dia begitu kritis dan tahu begitu banyak. Bacaannya buku politik, biografi, sastra dan puisi. Dan dia suka banyak lagu-lagu jadul yang juga saya suka, which in my view, a huge point. Seorang teman yang lain sangat aktif dan seorang public speaker yang baik. Setiap dia bicara di forum, saya selalu terkagum-kagum dengan kosa kata dan cara bicaranya yang 'pintar'. Tapi, ketika dia bicara dengan hebatnya tentang satu topik yang saya kuasai dan dia, notabene, tidak, saya bisa lihat betapa dia sebenarnya cuma membacot. Orang yang benar-benar pintar seharusnya tahu kapan ia harus bicara, dan kapan ia harus tutup mulut, and that is when I lost my respect. Seorang teman lagi, justru kebalikannya. Pendiam, jarang aktif di forum. Kemudian, sebuah kebetulan membawa saya pada fakta bahwa nilai essay penugasannya adalah: 4; 3,75; 3,5. Seorang lagi, adalah mahasiswa eksis. Bajunya bagus, modis, mantannya banyak, mukanya judes, tipikal tokoh antagonis di sinetron-sinetron. Tapi ternyata, dia berangkat dari keluarga yang tidak utuh. Orangnya sendiri, begitu kenal lebih jauh, sebenarnya baik dan smart banget. I learned so much from my encounter with these new people, hopefully those experience will serve me to be wiser.
There's no such thing as 'pushing yourself too hard
Life only feels hard when you go soft on yourself. Ketika ketika menghabiskan diri membuang-bunag waktu mengasihani diri sendiri, memajakan diri dengan excuse-excuse yang kita buat sendiri, we became weak. And thus, we became powerless in the face of life and its problem. Teman saya adalah mahasiswa karier. Dia aktif di segambreng kegiatan dan organisasi, baik akademik maupun seni, dia punya absensi yang hampir semua full, bukan karena titip absen (yang notabene nggak bisa dilakukan lagi dikampus saya, no thanks to the fingerprint method) tapi karena memang datang terus. Dan dia baik-baik saja. Semua orang, termasuk saya, bilang suatu saat dia akan snap sendiri karena bebannya terlalu banyak dan dia akan ambruk. But so far, she's doing fine. Because she steeled herself, she brace herself for whatever tomorrow brings. Saya? Jadwal tidur yang nggak teratur dan makanan yang nggak sehat bikin saya, saat ini, merana sendiri karena sakit. I am weak, saya belum punya niat dan mental sebaja teman saya tadi. Tapi saya berusaha kok, meski baru langkah kecil sedikit-sedikit dan sepele.
Sulit, tapi Bapak secara nggak langsung bikin saya kuat. Dia sibuk, dia sering nggak punya waktu untuk saya bahkan ketika kita masih tinggal serumah. Kalau teman-teman saya cerita mereka sedih ketika dua hari nggak ditelepon rumah, saya hampir dua minggu nggak dihubungi Bapak. Ketika teman-teman saya sakit dan mereka ngadu, saya cuma sms Bapak ketika penyakit saya kemarin sudah parah dan saya nggak tahu lagi mau berobat ke mana. Ketika di waktu-waktu langka saya ditelepon agak lama sama Bapak dan saya cerita tentang masalah saya, respon Bapak selalu ringan dan seolah menggampangkan.
Dulu, saya merasa semua karena Bapak nggak peduli, karena Bapak nggak mau tahu. Tapi saya sekarang lebih dewasa. Saya bisa lihat, bahwa semua itu Bapak lakukan justru karena dia sayang saya.
Dia nggak merasa perlu menghubungi saya setiap hari karena dia percaya saya baik-baik saja dan saya bisa jaga diri. Bapak percaya saya bisa jaga kesehatan, dan ketika saya sakit, Bapak tahu saya pasti bisa mengurus diri sendiri. Ketika saya cerita dan Bapak cuma menanggapi seadanya, Bapak mau melatih saya supaya tidak gampang mengeluh. Bapak tidak memperlakukan saya seperti anak kecil yang rapuh dan perlu dimanja karena dia percaya saya sudah dewasa dan mampu berdiri sendiri. And for these I am grateful.
No comments:
Post a Comment