Semua pasti tahu Instagram. Photo sharing application yang tadinya eksklusif untuk pengguna iOS ini sekarang udah bisa di download gratis di Android Market. Kabar-kabarnya sih banyak iPhone owner yang nggak suka. Kalo saya sih karena bukan iOS user ya seneng-seneng aja dapet Instagram, langsung berasa gaul beudzz gitu.
Instagram sebenernya mirip banget konsepnya sama Tumblr, tapi lebih simple, lebih user friendly, lebih populer, tapi lebih menyeramkan.
Instagram yang tadinya saya kira artsy community macam Tumblr ternyata lebih mirip Twitter dalam versi photo sharing. Fungsi utamanya sebagai tempat share foto kayaknya udah mulai berubah jadi sarana untuk kepo bagi sebagian orang.
Biarpun kepo itu seru, agak seram kadang ketika mendengar orang mulai menggosipi foto-foto di Instagram orang lain. Yang si A post foto boneka dibilang sok imut lah. Si B post foto tas-tas branded dibilang fotonya hasil search di Google lah. Si C post foto liburan di Jakarta dibilang norak lah. Si D post foto lagi berbikini dibilang nggak punya malu lah. Komentarnya adaaa aja, and it never stop to amuse and scare me at the same time. Yang tadinya mau ikut-ikutan post foto di Instagram jadi agak segan.
Beda sama Tumblr. On Tumblr, I'm free. I'm anonymous. There's so many people, and no one give a damn on who you are, what your real name is, where do you live, how pretty or how rich you are as long as you keep posting things that worth reblogging for. People will follow you because they like your posts, and not because you ask them too or because they want to peer into your life. On Tumblr, when someone follow you, it actually mean they're following you as in admire you, and not spying on you.
Yes I love Tumblr so very much. Tapi bukan berarti saya nggak pernah ngerasain nggak enaknya. Saya pernah post tulisan, isinya pendapat pribadi tentang satu accident di Kpop fandom.Tiga puluh menit setelahnya, inbox saya penuh dengan berbelas-belas hateful comments dari fans-fans si Kpop group ini. Semua bilang mereka nggak setuju sama post saya. Beberapa menyampaikan keberatannya dengan baik-baik, sopan, ditambah emote senyum. Tapi kebanyakan justru marah-marah heboh, saya dibilang stupid lah, idiot lah, nggak bisa mikir lah, nggak punya otak, super dumb lah.
Social media semakin ke sini makin canggih. Yang dulu cuma ada Friendster sekarang kita punya Skype. Yang dulu main Wordpress sekarang pindah ke Pinterest. Foursquare, Path, Omegle, Facebook, Twitter, YouTube, social media berkembang terus mengakomodir keinginan kita untuk berinteraksi. Ketika satu social media mati atau mulai sepi, akan muncul yang baru dengan kemampuan yang lebih mumpuni. And we will love every single one of them. Because social media fulfill one of our basic needs as human. Attention.
Yang jadi masalah adalah kadang kita nggak bisa ukur perhatian yang seperti apa yang bakal kita terima dari hal-hal pribadi yang kita share ke publik. Maksudnya post foto karena seneng bisa liburan ternyata malah dikomentari kampungan. Posting tulisan yang sebenarnya pendapat pribadi ujung-ujungnya malah di-bash. Sibuk check-in di Foursquare dibilang berlebihan. Nge-tweet curhat dibilang lebay.
Akun-akun yang kita punya di Twitter, Blogspot, Facebook, dan seabrek social media lainnya tujuan utamanya kan memang untuk share news and our personal info. Lantas ketika hal-hal yang kita share ke publik itu justru mengundang komentar negatif, konflik-konflik nggak penting, dan perhatian yang nggak diinginkan, gimana?
Berapa banyak yang orang lain perlu tahu tentang kita, atau sebaliknya?
Kenapa mereka perlu tahu, dan kenapa kita perlu tahu?
Social technologies created a world of always-on connection, endless social interactions, and over-sharing. Whether you're going to swim along the wave or just sit on the side and watch, it depends on you. Just remember to swim and to watch smartly.
“We have invented inspiring and enhancing technologies, yet we have allowed them to diminish us.” - Sherry Turkle
No comments:
Post a Comment