September 22, 2010

3 Idiots


Saya nggak suka film India.
Entah kenapa film India selalu mengingatkan saya dengan semua yang panas-panas. Padang gurun, uap kompor di dapur, lapangan rumput di siang hari, dan kroket berminyak yang baru diangkat dari wajan penggorengan. *weirdooo

Waktu orang-orang ramai membicarakan dua film India yang lumayan booming beberapa waktu lalu, 3 Idiots dan My Name is Khan, saya sempat skeptis. Yang ada di kepala saya dua film ini akan sama seperti film India pada umumnya, mengharu biru, penuh adegan tari dan nyanyi yang warna - warni.

Tapi begitu baca reviewnya di beberapa majalah film, saya mulai tertarik sedikit. Walaupun belum sampai sebegitu tertariknya sampai memburu DVDnya.

Dua hari belakangan, Fifi promosi 3 Idiots. Katanya filmnya baguuuus, bikin dia ketawa sekaligus nangis di saat yang sama. Lucky me, dua minggu yang lalu saya baru beli DVD 3 Idiots. Maksudnya sih untuk orang, tapi karena penasaran saya 'pinjem' dulu DVDnya.

Dan, ya. Saya ketawa dan menangis di saat yang sama. Bikin sakit kepala.

Nggak perlulah ya saya mempanjang-panjangkan posting ini dengan memuji-muji betapa bagusnya film ini, toh udah banyak yang muji. Tapi film ini membuat saya berpikir. Panjaaaaaaaaang.

Saya kelas dua SMA sekarang. Masuk jurusan IPS, dan bukan yang paling pintar pula. Saya nggak punya bakat khusus yang menonjol. Dan sampai sekarang saya belum tahu mau kuliah dimana dan ambil jurusan apa.

Saya suka nulis. Sempet kepikiran juga mau menjadikan hobi ini sebagai tujuan hidup. Tapi ayah saya bilang penulis tidak bisa jadi orang kaya. Karena uang tidak bisa ditulis.

Saya bisa aja membantah, berkeras dengan pilihan saya. Tapi kok rasanya nggak tahu diri ya? Saya sudah memupuskan harapannya supaya anaknya jadi dokter. Apa iya saya tega bikin dia kecewa sekali lagi?
Dan pupuslah satu-satunya cita-cita yang pernah terpikirkan ini.

Tapi, setelah nonton 3 Idiots saya punya pembelaan baru.
Uang memang tidak bisa ditulis. Tapi uang juga tidak bisa dibentuk dengan pisau bedah kan?
Bukannya semua pekerjaan punya resiko membuat kita gagal?

Siapa bilang jadi arsitek pasti kaya? Selalu ada kemungkinan kesalahan perhitungan kan?
Siapa bilang jadi dokter pasti sejahtera? Kalau dokternya dokter-dokteran emang bisa dapet pasien?
Siapa bilang jadi businessman selalu makmur? Gimana kalo kena tipu ratusan miliar terus gulung tikar?
Siapa bilang sarjana teknik pasti enak? Siapa yang tau nanti dia mati ditabrak becak atau apa.

Semua profesi punya resiko sendiri-sendiri. Dan sukses atau tidaknya kita dengan apa yang kita geluti tergantung dengan diri sendiri.

Anda bisa menjadi yang nomer satu, mandi dalam kolam uang dengan puluhan piagam penghargaan yang menemanimu di dinding. Tapi untuk apa?
Kalau gol yang mau dicapai adalah kesuksesan, setelah sukses lalu apa?
Mau melakukan apalagi setelah target tertinggi tercapai?
Menikmati? Apa yang mau dinikmati? Puluhan tahun yang lewat dengan sia-sia karena sibuk mengumpulkan uang?
Memang buat apa sih uang itu?
Uang itu tidak membeli kebahagiaan. Ia hanya memberikan Anda barang-barang yang membawa kebahagiaan. Dan kalau barangnya hilang atau rusak hilang juga kebahagiaan Anda.


Rancho di 3 Idiots kuliah untuk ilmu, karena dia memang mencintai ilmu dan mau belajar. Kita harusnya juga gitu. Tapi seperti yang film ini bilang, sistem membuat kita fokus pada nilai. Dan yah, realitanya memang itu yang penting kan?
Nilai untuk kuliah, nilai untuk orang tua, nilai untuk pekerjaan, nilai untuk hadiah di akhir tahun ajaran, nilai sebagai gol.

Saya juga gini kok. Seneng banget kalo ulangan tuntas, kuis lancar, UTS nggak remed, UKK bisa. Semua kesuksesan diukur dengan angka. Doanya biar dapet nilai bagus, biar tuntas. Bukan biar dapet ilmunya.

Padahal nilai itu cuma angka. Ditulis dengan pena seribu lima ratus rupiah oleh tangan keriput guru yang mungkin tidak tahu wajah kita. Tapi hanya untuk beberapa digit angka itu kita hidup sebagai mesin. Kawin sama textbook.

Saya tahu kok, masih terlalu jauh dan nggak mungkin rasanya kita bisa hidup seperti di 3 Idiots, "Find your passion and live with it". Nyatanya kita punya tanggung jawab untuk menjawab ekspektasi orang. Terutama orang tua, ya.

Tapi kita juga punya tanggung jawab ke diri sendiri kan?
Untuk bahagia.

Hidup ini banyak ranjaunya. Salah melangkah sedikit, gosong. Tapi buat apa takut? Yang gosong biar aja gosong! Terlalu banyak ketakutan justru bikin kaki kita beku dan jadi nggak berani lari. Ujung-ujungnya ya mati kegiles juga.

3 Idiots membuat kepala saya pusing karena ketawa dan nangis di saat yang bersamaan, tapi saya berterima kasih. Saya jadi punya mimpi lagi.

Saya mungkin akan berakhir sama seperti orang-orang pada umumnya. Lulus SMA, kuliah 3-4 tahun, lulus kuliah, kerja 9-to-5, kawin, hamil setelah 3 bulan kawin, punya anak, cuti kerja, kerja lagi, hamil lagi, punya anak lagi, berhenti kerja, terus stuck jadi ibu rumah tangga sampai keriput.

Tapi saya janji selama proses itu berlangsung, saya akan coba sedikit-sedikit menemukan passion saya, dan berusaha hidup dengan itu. Kalau gagal ya nggak masalah. Setidaknya saya sudah mencoba. Setidaknya saya bisa mati tanpa menyesal atau bertanya "What if..."

Saya janji sama diri sendiri. Untuk bahagia.
You?

2 comments:

  1. What a wise decision ;D
    Sekedar membantu. How about you plant the idea in your mind, that our parents are going to be happy if their child is happy ?
    Saya selalu menanamkan itu di benak saya. Apapun tujuan mereka mengarahkan saat dini, mereka hanya ingin kita bahagia, dan apa yang membuat kita bahagia ? Silahkan anda pikirkan :)

    Bukan bermaksud menggurui, i just excited of the way you think. You should be a writer :) really ;)

    ReplyDelete
  2. Yes, I know that now. Biarpun cara mereka menunjukkannya memang seringkali agak... absurd? =))

    Awww that's very kind of youuu, thank you! *hug*

    ReplyDelete