One day after my prom, I went for a one-night-and-two-days trip to Lampung. With my father. By train. It was an okay trip I guess, considering I was so gloomy back then, with prom, graduation, my friends went away one by one, and all that stuff. The trip was proven to be good to me. It gave me time to put my thoughts and feelings in order.
I was on my way to a beach when I saw a local man riding his bike carrying two cages of birds. Supir kita bilang burung itu ditangkap dari hutan di sekitar pantai, nantinya untuk dibawa ke kota, dijual. Bapak saya bilang burung seharusnya dibiarkan terbang bebas, bukan dikurung dalam sangkar. Dia cerita gimana koleganya yang pelihara burung pasang jaring-jaring pembatas, seperti yang biasa kita lihat di kebun binatang, di halaman rumahnya, supaya burung-burung peliharaanya bisa terbang bebas. It sounds like a good idea, huh. Tapi bukankah itu cuma sangkar yang sedikit lebih besar? Dia cuma memberi burung-burung itu lahan yang lebih luas untuk terbang, membuat mereka berputar-putar di tempat yang sama lalu menyebunya kebebasan.
Menurut saya kita, manusia, selalu punya tendensi untuk memiliki, mengklaim sesuatu. Mungkin karena kita makhluk-makhluk kecil di dunia yang terlalu besar dan membutuhkan sesuatu untuk meyakinkan diri bahwa kita superior. Bahwa meskipun kita tidak selalu bisa mengatur segala hal, kita bisa memiliki apa yang bisa dimiliki. Dari binatang peliharaan, uang, pakaian, rumah, pasangan, hingga kepercayaan. Kita punya begitu banyak alat untuk menunjang eksistensi kita di dunia, mengklaim segala sesuatunya, sehingga kita lama lupa bahwa kita lahir tanpa punya apa-apa. Kita lupa semua yang kita punya tidak selamanya ada. Dan ketika kita dilucuti dari semua itu, kita pincang.
Berapa banyak politisi yang jadi gila ketika gagal punya jabatan dan jadi kaya? Berapa banyak perempuan yang bunuh diri karena lelakinya lari entah ke dunia bagian mana? Berapa banyak pemuka agama yang ngamuk ketika kepercayaannya dipertanyakan? Berapa banyak keluarga yang tidak lagi bersama karena ribut masalah harta? Kita berpegang pada hal-hal yang kita punya kuat-kuat, mempertahankannya sepenuh hati, tapi untuk apa ketika nantinya semua itu pun tidak bertahan selamanya?
Mungkin kita mencari sesuatu untuk dimiliki, untuk dijadikan pegangan. Alasan. Sesuatu yang kita lindungi, yang dijaga dan dipertahankan. Mencari kegiatan, supaya tidak jadi seonggok daging dan tulang ngalor-ngidul di muka bumi tanpa punya apa-apa, tanpa tahu mau ngapain.
Saya nggak tahu inti dari postingan ini apa. Saya juga nggak tahu dari tadi saya ngomong apa. Semua ini cuma ocehan abal-abal bocah ingusan yang sebal melihat burung dalam sangkar. Jangan dianggap serius. Saya cuma membual.
No comments:
Post a Comment