December 20, 2011

Careless Parents and Helpless Children

We were all once dreamed of life like fairy-tales. When there's nothing but happiness and love, when good always win over bad,  and when a happily ever after is possible. But somehow, when we grew up, we'll realized that reality isn't always as good or as beautiful. Sometimes troubles came, and then we learned that it isn't always had a good ending. So we wait, we live as happy as we can while still waiting in fear of when bad things will come. We try our best to prepare ourselves for the worst, yet when it finally strike, still we're not ready. It turned out that we're not as strong as we thought we were. So we hide, in grief and pain, for who know how long. Because we wouldn't want to get hurt again, would we?

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Kita semua tahu betapa bobroknya hukum di negara ini. Kita tahu untuk tidak berharap banyak atas keadilan. Yang tidak punya kuasa atau yang tidak punya cukup dana sebaiknya tidak banyak bicara kalau tidak mau berjuang sia-sia. Saya tidak lantas mengatakan hukum tidak lagi berlaku. Hukum masih berlaku, hanya pada orang-orang tertentu.

Belakangan ini, ada beberapa orang yang saya tahu tersangkut kasus hukum. Saya memang tidak mengenal mereka secara langsung selain sebagai kenalan ayah saya, tapi saya kenal keluarganya, anak-anaknya, cukup untuk ikut merasa prihatin karena ayah saya sendiri pernah berurusan dengan pengadilan meski cuma jadi saksi.

Saya bukan hakim atau ahli hukum. Saya tidak tahu bagaimana memvonis seseorang bersalah atau tidak. Tapi saya seorang anak. Saya punya ayah yang juga bekerja. Saya tahu rasanya ketar-ketir menunggu hasil pengadilan semantara saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya yang keluarganya sendiri, yang bertemu setiap hari dan tinggal serumah, jelas lebih mengenal ayah saya ketimbang para hakim dan penyidik di kepolisian. Tapi siapa yang akan mendengar saya? Dalam hukum tidak penting saya bilang ayah saya rajin ibadah. Dalam hukum tidak penting saya bilang ayah saya rutin puasa Senin-Kamis. Apa yang saya tahu tentang ayah saya tidak ada kaitannya dengan proses hukum. Saya bisa teriak ayah saya orang baik, tapi kalau hukum bilang dia tidak, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya cuma bisa berharap bahwa ayah saya selalu ingat. Bahwa ia tidak sendiri, bahwa ada saya di sini. Maka ketika suatu saat ia bermain api, saya juga ikut terbakar. Parents should not being careless, for children are helpless, for it will only bring sadness.

Saya cuma seorang anak, belum tamat SMA, punya KTP pun belum ada sepuluh bulan yang lalu. Saya bukan siapa-siapa. Saya tidak punya daya untuk melindungi ayah saya dari penjara. Yang bisa saya lakukan cuma menunggu, dengan was-was, berharap bahwa dia baik-baik saja. Bahwa ia berjalan lurus, dan bahwa Tuhan, di manapun Ia, melindungi ayah saya.
... for he's the only one I have left.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Saya bukan orang paling optimis di dunia. Hidup saya tidak seindah cerita dongeng, dan saya tidak selalu bahagia. Tapi saya mencoba menghargai hidup, menghargai setiap duka dan tawa sebagai bagian menjadi manusia. Masih ada kebahagian buat kita di luar sana. Kita hanya perlu mencari lebih keras.


Take a leap of faith.
Saya percaya. Kamu juga harus percaya ya, Dearest old friend?
:)


No comments:

Post a Comment